Responsive Ads Here

Galau Merusak Prioritas Hidup?





‘Galau’ saat ini sebagian besar masyarakat Indonesia sudah tidak asing lagi dengan istilah ini, terlebih bagi kaum muda masa kini. Bimbang, risau, cemas, dan gundah gulana sepertinya sudah melekat menjadi satu istilah, yaitu ‘Galau’. Bisa berarti penyempitan kata ini menimbulkan penyempitan makna pula. Kali ini kita tidak akan menelisik asal usul kata galau itu bagi kalangan anak muda masa kini. Oleh karena itu, kita akan mengintip lebih jauh efek samping apa yang akan di timbulkan oleh galau ini yang sudah menjadi tren.


Tempo hari saya sempat membaca sebuah artikel yang mengulas topik soal “mengetahui perilaku orang Indonesia melalui internet” walhasil, mereka memberikan spesifikasi cinta, pacar, dan galau menjadi tema populer dalam perbincangan media sosial di Indonesia. Dalam pemantauan seminggu saja selama 25 sampai dengan 31 Maret 2012, cinta menjadi topik hangat di Twitter Indonesia dengan 489.110 tweet[1]. Celakanya ketiga tema itu memiliki keterkaitan secara berkala. Pada akhirnya, dari hasil penelusuran SX Indeks, Yogyakarta menjadi kota yang paling sering membicarakan tema pacaran sekaligus kota yang paling sering galau di Twitter.


Ada apa dengan galau? Pertanyaan ini tidak bisa kita jawab dengan singkat. Ada langkah-langkah khusus untuk memahami perilaku dan sifat yang muncul berkat galau ini. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) galau di maknai sebagai; sibuk beramai-ramai, ramai sekali, kacau tidak karuan (pikiran). Bahkan beberapa orang seringkali berpendapat bahwa galau merupakan sebuah perasaan tidak enak yang ada pada pikiran karena kita bingung entah karena masalah cinta atau masalah pekerjaan yang memaksa kita untuk memilih sesuatu sehingga membuat kita bingung dan membuat emosi kita menjadi labil. Sifat galau ini sering kali menjangkit anak muda, akan tetapi galau sewajarnya tak hanya menyerang anak muda saja, melainkan hampir semua usia bisa merasakannya.


Perbincangan galau mendekatkan kita pada persoalan kebebasan versus kesepian, seperti apa yang pernah dibicarakan oleh Karen Horney dalam psikoanalisis sosialnya mengenai konflik dan kecemasan. Dalam buku psikologi kepribadian (Alwisol, 2005: 172), Karen juga berpendapat konflik dalam diri sendiri adalah bagian yang integral dari kehidupan manusia, misalnya dihadapkan dengan pilihan dua keinginan yang arahnya berbeda, atau antara harapan dan kewajiban, atau antara dua perangkat nilai. Semua hal yang dirasa berada di persimpangan menyebabkan konflik dalam diri, begitu juga halnya galau. Terlepas dari hal konflik dalam diri, sejatinya kegalauan juga berangakat dari hal-hal sukar seperti kecemasan dalam diri yang seringkali memberikan kita rasa takut. Kecemasan dasar merupakan asal-muasal dari takut, suatu peningkatan yang berbahaya dari perasaan berteman dan tak berdaya lagi dalam dunia yang penuh dengan ancaman. Oleh karena itu, jika sebagian besar orang sudah mengalami kegalauan akut, maka gejala-gejala ketakutan akan selalu


Akankah kegalauan merusak prioritas hidup? Belum lama ini, saya sempat dikirimkan beberapa karikatur tentang tren kegalauan yang menjangkit anak muda sekarang. Hasilnya, Mice Cartoon™ memberikan contoh gambar perilaku saat galau itu menjangkit. Pertama, seseorang yang sedang terjangkit galau seringkali meng-update status jejaring sosialnya dengan penuh ratapan, kalimat melankolis, dan keluhan yang berkaitan seputar kehidupan pribadinya, celakanya itu hanya curahan hatinya saja. Kedua, merasa dirinya paling sengsara di dunia, padahal hanya sedang mengalami masalah yang sepele, dan seakan-akan langit sudah runtuh, sejatinya masih banyak orang lain yang punya masalah lebih besar, tapi tidak berlebihan seperti ini. Ketiga, generasi galau ini cendrung lebih mendengar lagu-lagu yang bernuansa mellow, sehingga menyakinkan mereka untuk larut dalam kesedihannya. Keempat, merupakan imbas dan efek yang hendak ditimbulkan oleh galau, yaitu mental cengeng ternyata bisa menjadi tren dikalangan generasi muda kini, ‘kalau nggak galau bisa dibilang nggak gaul’.menghampiri mereka, terlebih pada menurunnya kepercayaan diri mereka.


Setelah saya amati dan sempat saya alami juga, bahwa kegalauan adalah alegori dasar atas orang-orang neurotik. Neurotik tidak mesti diartikan sebagai penyakit gangguan urat saraf, melainkan kecendrungan orang yang seakan-akan tidak pernah puas akan kehidupannya. Sewajarnya manusia. Pencarian kemuliaan yang neurotik adalah gambaran secara luas dan lengkap ke dalam semua aspek kehidupannya sebagai ambisi, konsep diri dan hubungan dengan orang lain. Kebanggan neurotik adalah kebanggaan yang tak tampak, bukan didasarkan pada diri yang bertindak secara nyata, tetapi didasarkan pada gambaran palsu dari diri yang ideal, menurut (Alwisol, 2005: 178). Orang neurotik yang mencari kemuliaan tidak akan pernah puas dengan dirinya sendiri. Begitu juga halnya galau, yang secara sadar atau tidak sadar ia telah membawa kita pada persimpangan bahwa rasa bersyukur atas yang didapat dalam hidup tidak pernah ada, hasilnya kita hanya dihadapkan pada persoalan; pilihan yang membuat bimbang, masalah, dan kesedihan.


Persoalan-persoalan di atas mestinya memberikan kita pencerahan untuk lebih membawa perasaan, mood, dan perilaku ke arah yang lebih baik. Bahkan, dilain hari saya pernah terjangkit galau ini. Ada beberapa gejala yang saya rasakan ketika galau ini mendera. Oleh karena itu, saya mengklasifikasikan gejala tersebut menjadi enam kategori gejala akut dari galau, sebagai berikut:


1. Menuntut kebutuhan kepada diri tanpa ukuran (demans on the self)



Gejala ini sejatinya merupakan contoh pemaksaan dari seharusnya. Orang memunculkan kebutuhan diri yang tidak pernah berhenti. Sewarjarnya manusia. Akan tetapi, ketika mereka sudah mencapai titik keberhasilan atau kesuksesan mereka masih mengalami perasaan kekurangan dan menuntut bergerak menuju kesempurnaan. Celakanya, gejala ini terkadang luput akan kemampuan yang dimiliki.


2. Menyalahkan diri sendiri tanpa ampun (merciless self accusation)



Gejala ini biasanya diiringi dengan rasa bersalah dari diri sendiri. Menyalahkan diri sendiri bentuknya bisa bermacam-macam, mulai dari ekspresi luar biasa hebat. Semisal, merasa dirinya bertanggung jawab terhadap bencana alam yang terjadi, padahal bencana itu merupakan ujian dan cobaan bagi kita dari yang maha kuasa (Tuhan).


3. Menghina diri sendiri (self contempt)


Gejala ini berbeda dengan gejala sebelumnya, walaupun serupa tapi tak sama. Di ekspresikan dalam wujud memandang kecil, meremehkan, meragukan, mencemarkan, dan menertawakan diri sendiri. Anak muda kini mungkin berkata kepada dirinya sendiri, “kamu itu idiot yang sombong! Apa yang membuatmu berpikir bisa berpacaran dengan perempuan tercantik di kota ini?” Sedangkan, perempuan itu mengatakan bahwa sukses karirnya itu ‘nasib baik’.


4. Frustasi diri (self frustration)


Kebimbangan, dan kecemasan yang ditimbulkan dari galau itu seakan-akan telah membawa kita pada penundaan tujuan yang masuk akal. Hal ini disebabkan oleh pilihan-pilihan yang semakin rumit dan terlalu banyak. Sehingga menuntun kita kepada pembelengguan diri dengan tabu untuk menentang kesenangan.


5. Menyiksa diri (self torment)


Gejala ini sebenarnya termasuk gejala yang berbahaya. Biasanya, gejala ini mendorong kita untuk menyakiti diri sendiri baik itu melalui batin maupun fisik. Gejala ini juga melulu pada gejala sebelumnya. Sehingga kita seakan-akan mengalami penderitaan akibat suatu keputusan, memperparah sakit kepala, melukai diri sendiri dengan pisau kalau memang sudah mengalami titik frustasi yang berlebihan.


6. Hilangnya kepercayaan diri (self confidence)


Jikalau semua gejala sudah kita rasakan, maka ini merupakan gejala yang terakhir kita rasakan bahwa kita tidak percaya pada diri kita sendiri. Oleh karena itu, kita lebih memilih pengasingan diri kita dari dunia luar. Mencari tempat yang lebih intim, sunyi, dan suka akan keheningan.




Dari penuturan di atas sepatutnya kita perhatikan dengan serius. Galau yang selama ini menjadi tren, semestinya tidak diartikan dengan serius. Semua orang semestinya mengalami hal kegalauan itu, karena proses kegalauan juga termasuk dalam proses pembentukan kedewasaan seseorang. Akan tetapi, bilamana galau itu selalu dirawat secara rutin maka hilangnya prioritas hidup akan melanda bagi kita. Apabila, seseorang dilanda kegalauan, saya mempunyai saran bagi anda-anda sekalian. Pertama, tingkatkan kesadaran dalam diri anda, dan kesadaran bukan memahami kekurangan kita semata melainkan memahami apa yang sudah kita punya untuk saat ini dan kedepannya. Kedua, bersikaplah cuek saat kegalauan itu mendera, cuek di sini dalam arti bukan tidak peka melainkan kita mesti mengabaikan segala macam pikiran yang membuat kita hilang percaya diri dan siap menerima resiko atas pilhannya. Ketiga, peliharalah sifat bersyukur atas pilhan yang telah kita pilih dan selalu berterima kasih atas apa yang diberi oleh yang maha esa (Tuhan). Begitulah paparan analisis kecil saya mengenai galau. Semoga bermanfaat bagi pembaca. Sekian.
Share on Google Plus

About Arry Kurniawan

0 komentar:

Posting Komentar